Minggu, 27 Desember 2009

Mari Definisikan Ulang Tujuan Pendidikan

Adalah suatu fakta, bahwa fungsi sekolah sebagai tempat seorang anak mengenal berbagai macam karakter, belajar membaca i-ni i-bu bu-di telah bergeser.

Sebagai siswa kelas dua belas sma yang dituntut banyak hal, saya menyadari bahwa, saya pergi ke sekolah bukan untuk menjadi pintar, tapi untuk mengejar tujuan saya masuk perguruan tinggi negeri. Tahun terakhir saya di sma kemarin, saya akui memang bukan tahun terbaik, tapi malah tahun paling tidak produktif sepanjang hidup saya.

Pendidikan Indonesia, yang kalau mau diibaratkan sebagai kutub senama, segalanya saling tolak-menolak dari berbagai sisi. Pemerintah dengan segala kuasa dan wewenangnya telah mengubah wajah pendidikan menjadi sesuatu yang punya nilai mati, menjebak dan bisa disamaratakan. Murid, pergi ke sekolah dengan perasaan datar tanpa motivasi, gagal meraba tujuan mereka mengetahui –pH-asam-lebih-kecil-dari-tujuh untuk apa. Guru, sebagian tidak menjalankan peran mereka sebagai pendidik tapi hanya sebagai pengajar. Sekolah, yang tiba-tiba menjadi gila sertifikasi, mulai dari ISO, SBI dan segala macam status prestise omong kosong lainnya. Politikus, semakin getol saja menjadikan pendidikan sebagai alat politik. Bimbel yang semakin sadar bahwa mereka dibutuhkan langsung pasang ancang-ancang untuk meraup profit sebanyak mungkin dengan meningkatkan dependensi anak-anak akan rumus cepat, meracuni fikiran pelajar bahwa jalan pintas selalu bisa dijadikan solusi. Akibatnya fenomena seorang anak mengenal huruf a sampai z di sekolah telah bergeser. Semua telah berganti dengan semangat kejar setoran.

Sekolah Bertaraf Internasional

Selamat menempuh hidup baru untuk sekolah saya dengan status barunya. Jujur saja saya masih bingung dengan ‘taraf Internasional’ di sini itu apa. Karena dengan status itupun, saya masih belajar dalam bahasa Indonesia, hanya sesekali ujian dalam bahasa ‘bilingual’ yang jujur saja agak maksa. English day pun tidak efektif. Tapi saya lebih bingung pada tujuan dari itu semua. Untuk apa kita belajar dalam bahasa lain atau bahasa campur-campur kalau transfer ilmu dari guru ke murid tidak berhasil? Memang, untuk lebih berkembang kita harus lebih terbuka akan hal-hal baru dan punya acuan dari banyak sumber. Tapi tidakkah kita bangga menjadi orang Indonesia sampai harus maksa ulangan agama pakai bahasa orang? Ya sudahlah, status Sekolah Bertaraf Internasional cukup keren juga kok.

Ujian Akhir Nasional hampir membutakan hati pelajar Indonesia.

Adanya UN tanpa sadar telah membentuk stigma pelajar menjadi UN oriented. Belajar hanya untuk UN karena standar lulus adalah UN. Kelas dua SMA itu bagai cuti panjang untuk kami karena kami tidak punya ‘tuntutan apa-apa’. Itulah yang membuat UN menjadi ide buruk. UN menempa mental kami menjadi mental hasil akhir, belajar karena tuntutan, bukan karena kesadaran bahwa setiap manusia punya kebutuhan belajar untuk mengembangkan diri. Hasilnya, sekolah hanyalah di tahun terakhir, kelas dua SMA tinggal bersantai. Apalagi di sekolah saya urusan nilai bukanlah perkara sulit. Standar kelulusan minimal yang cukup menjulang (nilai minimal kami untuk tidak remedial adalah80) telah membantu menyamarkan ‘keadaan otak’ kami yang sebenarnya. Saat ujian tampaknya sih pengawasan begitu ketat, soal susah, dengan dua pengawas untuk tiap ruangan, wow kesannya sih udah paling oke. Jangan kaget kalau nilai asli kami banyak yang dibawah 60. Tapi untuk remedial, jangan ditanya, saya pernah remedial di lapangan takraw saking gak ada kelas yang muat, iyalah, orang yang remed satu angkatan! Bisa dinilai sendiri tingkat kondusifitas remedial seangkatan di lapangan takraw kayak apa. Dan hari pembagian rapor menjadi hari bahagia untuk semua. Para orang tua tersenyum bangga melihat angka-angka indah di rapor anak mereka tanpa mengetahui seperti apa sebenarnya cara anak-anak mereka mendapat nilai gemilang itu. Sudahlah, mari kita tutup hari-hari suram kelas dua SMA, singkat cerita setelah kami dinyatakan naik kelas, kami baru pontang-panting belajar untuk UN dan tes masuk PTN.

Issue mengenai adanya remedial untuk UN membuat saya ingin tertawa. Menurut saya kebijakan pemerintah yang satu ini mematahkan kebijakan UN sebagai standard kelulusan satu-satunya. Solusi adanya remedial bukanlah solusi bijak yang menyelesaikan masalah untuk menanggapi tuntutan kami pelajar. Karena jujur saja remedial yang berlaku pada ulangan harian saja telah mendidik kami para pelajar menjadi bermental ‘solusi jalan tengah’. Tidak perlulah remedial UN, remedial ulangan harian saja membuat kami punya excuse kalau tidak belajar, “ya udahlah remed kan gampang paling satu-dua soal, abis itu nilai langsung 80.” 

Saya setuju kalau UN tetap diadakan, karena tanpa tuntutan itupun pada dasarnya tugas kami memang belajar, karena itulah kami disebut pelajar. Tetapi keberadaan UN bukan untuk standar kelulusan siswa, menurut saya lebih relevan jika pelaksanaan UN digunakan sebagai standardisasi guru sekaligus pemetaan sekolah. Sehingga hasil akhir dari pelaksanaan UN merupakan sebuah data pemetaan kualitas sekolah sehingga pemerintah punya gambaran mengenai kualitas sekolah yang sudah baik maupun sekolah yang ‘perlu dibantu’.
Jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri dan BOP yang mencekik leher

Beberapa tahun belakangan ini, ketika pemerintah perlahan-lahan memberikan wewenang otonomi kampus kepada PTN, menyebabkan perguruan tinggi negeri harus mencari pemasukan lebih giat. Hasilnya berbaagai ujian mandiri dengan kuota tidak tanggung-tanggung Banyak berlangsung belakangan ini. Dan sebagaimana ujian mandiri-ujian madiri pada umumnya, uang pangkal tentu lebih besar dan sangat ‘timpang’ jika dibandingkan dengan uang pangkal jalur masuk via SPMB dengan kuota lebih sedikit. Hal ini semakin menjadikan pendidikan adalah barang mewah yang tak terjangkau. 

Demikian juga dengan halnya ketimpangan passing grade pada universitas di daerah dengan di pusat. Menunjukkan dengan jelas pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia belum tercapai.

Keadaan signifikan akan Indonesia dan Jepang saat ini, dimana Jepang sudah menjadi negara industri maju sementara Indonesia masih berkutat dengan masalah kelaparan, padahal hari kemerdekaan kita hanya berselang 3 hari dari hari kehancuran Jepang. Mungkin kita pernah mendengar cerita bahwa hal yang pertama kali ditanyakan oleh kaisar Jepang setelah kekalahan negaranya adalah, “masih ada berapa guru yang tersisa?” Menunjukkan begitu concern-nya bangsa ini akan masalah pendidikan. Sementara di negara kita, pendidikan menjadi sangat rumit secara teknis.

Mari kita bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bersekolah.

Selama hampir dua belas tahun hidup sebagai murid, pernahkah kita memikirkan tentang hal apa saja yang saya dapatkan dari sekolah? Mungkin saat ini kita belajar keras untuk mempersiapkan diri menghadapi serangkaian ujian masuk PTN/PTS, UN, UAS dan lain sebagainya. Semua tujuan itu mulia dan baik apalagi disertai embel-embel untuk membahagiakan kedua orang tua. Tapi apa yang sebenarnya kita dapatkan selama dua belas tahun ini? Cara memasukkan angka ke dalam rumus? Selembar ijazah dengan nilai palsu yang sebenarnya kurang merefleksikan isi otak? 

Karena itulah, saya merasa perlu mendefinisikan ulang tujuan pendidikan, bagi murid, tujuan pergi ke sekolah. Begitu sederhana bukan? Saya takut hanya membuang-buang waktu kalau ternyata tidak ada yang saya dapatkan setelah bertahun-tahun saya sekolah. Bukankah tujuan pendidikan yang tersirat adalah mencerdaskan kehidupan bangsa? Maka sudah seharusnya setelah kita ke sekolah seharian kita menjadi cerdas. Dari tidak bisa menjadi bisa, dari otak kosong menjadi berisi. Bukan sekedar dari tidak punya nilai jadi punya nilai. 

Memang suatu pilihan bagi murid, untuk menjadikan hari-harinya di sekolah seperti apa. Apakah untuk sekedar mendapat rapor dan ijazah atau mendapat hal-hal baru yang memuaskan kebutuhan berfikirnya. Tapi bukankah sangat sayang kalau setelah cape seharian di sekolah yang kita dapatkan hanya sepaket nilai, sementara keberadaan ilmu itu sendiri malah diabaikan. Bukankah kalau kita benar-benar belajar dengan niat tulus diri kita akan diperkaya dengan hal baru sekaligus menguak kebesaran Tuhan lewat ilmu-ilmu yang kita pelajari? Maka itu, tujuan lulus UN dan dapat PTN bergengsi dengan passing grade selangit bisa dibilang hanyalah tujuan dangkal pergi ke sekolah.

Menurut saya lulus UN dengan nilai gemilang, dapat PTN bagus adalah target dan bukan tujuan. Sayang, disaat seharusnya target dan tujuan berjalan seiring, hal ini tidak terjadi di sini. Banyaknya tuntutan telah menggeser tujuan awal pendidikan. Tujuan pendidikan menurut saya adalah mewujudkan bangsa mandiri dan berbudaya. Tapi mari kita lihat banyaknya angka pengangguran, bukan berarti mereka tidak sekolah, banyak diantara mereka yang lulus strata satu alias sarjana. Tapi kenapa masih jadi pengangguran? Salah satu kegagalan pendidikan. Pendidikan kita sayangnya hanya mengajarkan teori tapi tidak cara mandiri dalam menyelesaikan masalah. Bangsa kita sudah terbiasa dengan mental konsumtif bukan produktif. Pendidikan kita, tidak memerdekakan anak-anaknya dari perasaan terjajah.

Jadi wajar saja kalau orang Indonesia banyak yang amoral.

Kalau sudah begini salah siapa?

Menurut saya kesalahan terletak pada tidak adanya keseimbangan antara satu dan lain pelaku pendidikan. Pemerintah menuntut murid dan guru dengan standar UN-nya. Murid menuntut pemerintah untuk merombak sistem pendidikan. Untuk mencapai tujuan dari pendidikan diperlukan kerja sama dari seluruh pelaku pendidikan. Semuanya harus bergerak, saling menuntut tidak akan membuat kemajuan. Jadi sebagai murid, mari kita belajar yang benar atas kesadaran sendiri, atas pemenuhan kebutuhan masing-masing. Kuak sendiri ilmu-ilmu itu sebanyak mungkin. Jangan menuntut apa-apa kalau kita belum melaksanakan kewajiban sesuai kapasitas kita sebagai murid.

Bisa dibilang penyesalan terbesar saya sepanjang hidup adalah penyesalan saya akan tahun kemarin yang sia-sia (saya menyebutnya sebagai fase menyampah di sma), seharusnya saya habiskan rasa ingin tahu saya, kehausan saya akan ilmu karena tahun kemarin adalah tahun tanpa tuntutan ini-itu. Tapi pada kenyataannya saya lebih banyak main-main di sekolah, belajar sekedarnya saja kalau mau ulangan. Padahal seharusnya banyak hal yang saya dapat, cakrawala berfikir saya mestinya sudah sangat luas setelah dua belas tahun bergumul dalam dunia penddidikan sebagai murid. Tapi memang tidak ada gunanya menyesal, dan saya berharap agar ilmu yang susah-susah saya dapat ini tidak sia-sia dan menjadi ilmu sekali pakai, seetelah ujian silakan buang.

Mari definisikan ulang tujuan kita berangkat sekolah tiap pagi. Benarkah tujuan kita hanya untuk selembar ijazah? Kenapa kita tidak mulai berniat pergi ke sekolah untuk membentuk karakter dan menjadi manusia mandiri? Bukankah nilai bisa dibuat atau dimanipulasi, tapi isi otak? Ya ampun, sesungguhnya kan ada banyak hal yang bisa kita gali dari sebuah institusi bernama sekolah.

Pengaturan Finansial

Hai para blogger yang kebanyakan sudah tidak produktif lagi karena pesona twitter yang lebih responsif ini mengalihkan perhatian. Lama tak jumpa (postingan saya akhir-akhir ini selalu diawali dengan kalimat ini ya? Saya kurang produktif ni). Entah apakah kurang sopan postingan saya setelah vacum beberapa bulan malah membahas masalah finansial. Haha. Tapi bisa dibilang ini adalah kegundahan saya sekarang.

Akhir-akhir ini saya semakin menyadari bahwa, saya sangat tidak pandai mengatur uang. Uang saya selalu menipis untuk “jajan-jajan kecil tapi banyak”. Padahal ibu saya selalu memberi uang jajan lebih. Entahlah, akhir-akhir ini terasa sulit untuk menabung. Padahal dulu saya selalu menabung walaupun hanya seribu dua ribu sehari, tapi saya bisa pastikan setiap hari saya menabung. Ya ampun, menabung bisa dibilang kebiasaan paling sehat yang pernah saya jalani. 

Jumlah tabungan adik saya 3 kali lipat dari tabungan saya. Padahal jelas uang jajannya lebih kecil dari uang jajan saya. Itu mungkin karena dia gak perlu tergoda untuk membeli nail buffer ataupun lip gloss dari katalog temannya, atau dia tidak perlu merasa tiba-tiba butuh bando untuk cuci muka, dia juga gak butuh organizer untuk menulis-nulis, kertas HVS bekas cukup untuknya, oh, sebenarnya bahkan ia gak pernah nulis-nulis. 

Perilaku tidak terencana saya ini sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa saya belum punya penghasilan sendiri. Tidak masalah kalau saya jadi gadis hedonis nan konsumtif kalau saya sudah punya sarang uang sendiri, tapi kan penunjang hidup saya satu-satunya adalah orang tua, dan ibu saya bilang kalau semenjak muda kita harus menghargai uang, dan darimana ia datang (ibu saya selalu mengulang ceramahnya yang satu ini setiap kali melihat bapak-bapak pemungut sampah, anak muda yang berjualan aqua di jalan, ibu penjual sapu yang mederita cacat tangan dan lain sebagainya). Etos kerja, itulah yang ingin ibu saya tekankan pada saya untuk dihargai.

Belum lagi mengingat tahun depan mungkin saya akan tinggal jauh dari orang tua karena kuliah di luar kota, bagaimana kalau saya masih gegabah dalam mengurus keuangan pribadi? Mungkin saya bisa menghabiskan uang jajan saya seminggu karena tergoda beli donat selusin atau pensil mekanik warna-warni yang sebenarnya tidak saya butuhkan. Tidak, itu hanya mimpi buruk.
Karena itulah saya berfikir harusnya saya punya trik untuk mengurus finansial saya mengingat saya begitu banyak jajan. Dan inilah trik yang sedang saya coba laksanakan.

1. Buat daftar perincian pemasukan dan pengeluaran

Membeli buku kecil dan menuliskan dengan rinci pemasukan dalam sebulan (uang jajan atau keuntungan bisnis kecil-kecilan) dan pengeluaran mulai dari jajan makan siang, pulsa, pengeluaran akhir minggu, pengeluaran untuk hobi apapun itu yang memakai uang dari pemasukan. Jika seandainya kita terbiasa besar pasak daripada tiang, niscaya kita akan merasa bersalah melihat perincian itu. Dan kalaupun kita sedemikian borosnya paling tidak kita tahu kemana uang kita lari dan bisa dijadikan pelajaran untuk bulan berikutnya.

2. Buat perencanaan

Perencanaan yang dimaksud bisa disebut sebagai ‘jatah’. Tentukan berapa kali kita boleh jalan bersama teman-teman beberapa waktu. Tentukan juga berapa kamu harus menabung setiap kali dapat uang jajan. Tidak perlu muluk-muluk, lima ribu rupiah rasanya cukup dan langsung sisihkan uang tabungan itu begitu pertama kali menerima uang jajan.


3. Pilih mall mahal

Ini adalah trik favorit sahabat-sahabat saya dan saya ketika suntuk menerpa, kangen melanda tapi sayang keadaan finansial sedang kurang mendukung. Carilah mall mahal untuk jalan karena uang kita tidak akan terkuras untuk membeli aksesoris atau barang apapun yang menggoda hati. “Cara kasar” kadang begitu efektif.


4. Pikir ulang sebelum membeli barang

Nasihat yang sudah sangat sering saya dengar. Pada intinya, kita harus punya alasan ketika akan membeli sesuatu. Tapi lebih baik kalau alasannya bukan harga yang murah atau ini hari terakhir sale atau modelnya lucu juga (padahal kita sudah punya lusinan barang seperti ini di rumah) tapi lebih ke saya butuh barang ini untuk ‘itu’, lalu pastikan apakah barang ini hanya untuk sekali pakai dalam acara ‘itu’ atau bisa kita pakai lagi seterusnya.


5. Bawa bekal dan air putih dari rumah

Kalau yang ini namanya sekali tepuk dapat dua nyamuk. Selain bisa menghemat pengeluaran dengan cukup efektif kita bisa sekalian memulai hidup sehat dengan membawa bekal sendiri. Kita semua tahu jajanan luar banyak yang tidak higienis dan nilai gizinya diragukan. Jadi kenapa kita tidak mulai mengganti cemilan siang kita dari makaroni goreng bersalut bumbu vetsin dan bubuk cabe dengan buah segar atau roti bikinan ibu kita. 


6. Buat rules pribadi mengenai keuangan

Misalnya prinsip ‘tidak boleh pinjam uang’ atau ‘paling tidak sisanya sekian setiap bulan’ atau ‘boleh jajan ini kalau sudah begini’ itu terserah. Bisa juga berupa ‘penghargaan’ karena sudah berhasil menabung.


7. Tentukan pula pengawas finansial pribadi

Hanya kita yang bisa menjadikan rules diatas efektif, maka jadilah disiplin dan angkat orang terdekatmu untuk jadi pengawas finansialmu kalau disiplin akan keuangan itu sulit, maka orang ini bertugas memberikan hukuman jika kita gagal menabung atau kelepasan hingga fatal. Orang-orang yang berwenang-seperti ibu- mungkin akan lebih efektif.


8. Buka rekening di Bank atau bagi uangmu dalam beberapa dompet

Membuka rekening di Bank akan mempersulit kita menghabiskan uang untuk kebutuhan semu yang tidak perlu. Bisa pilih rekening biasa atau deposito yang butuh beberapa waktu untuk dapat diambil. Terserah, semua tergantung ‘keteguhan hati’. Atau kita juga bisa membagi-bagi uang tabungan kita dalam beberapa dompet agar kita merasa ‘uang gue masih dikit’ dan menimbulkan semangat menabung. Selain itu membagi uang dalam beberapa dompet juga berfungsi ketika kita ada musibah kecopetan misalnya atau dompet yang kita bawa hilang, kita masih punya simpanan langsung di dompet lain.


9. Pekakan radar bisnismu

Yang ini hanya tips ringan untuk menambah uang jajan. Teman saya terlihat begitu brilian saat menjajakan DVD lamanya dan kartu capsa strawberry shortcake-nya yang sudah membosankan untuknya. Jadi kenapa kita tidak menilik lemari kita, mungkin kita bisa mengikuti jejak teman saya yang satu ini?


Silakan dicoba siapa tahu efektif. :)

Beberapa minggu sebelum ulang tahun saya yang ke tujuh belas, ibu saya sudah mewanti-wanti agar saya secepatnya membuka rekening pensiun di bank (yang sampai sekarang belum juga saya laksanakan), saya pikir memang penting memikirkan kesejahteraan masa tua kita nanti dari sekarang. Karena belajar dari pengalaman orang yang lebih dulu mengalami masa tua mereka, tidak jarang yang ketika muda mereka kaya dan punya gaya hidup tersendiri tapi ketika tua mereka hidup pas-pasan dan bergantung pada anak. Ibu saya bilang uang pensiun dari perusahaan tidak seberapa besar maka tetap saja kita harus menyiapkan dana masa senja kita dan punya investasi.

Impian saya untuk masa tua saya adalah tinggal di desa dan di sana saya hanya berdoa juga melakukan hoby-hoby yang sekarang terpaksa saya abaikan dulu (bermusik, menulis seharian, melukis, melatih anak-anak teater dan lain sebagainya). Karena itulah saya harus menabung dari sekarang. Saya takut masa tidak produktif saya nanti diwarnai hal-hal menyeramkan yang tidak sesuai keinginan. Mari kita wujudkan masa tua yang harmonis dan bebas hutang.

Sabtu, 25 Juli 2009

Hai hai hai

Lama gak posting. Blog ini sungguh terbengkalai. Sebenernya saya pengen nulis banyak, mulai dari liburan spontan dan bla bla bla, tapi gak sempet-sempet. Maklum, saya lagi "mengencangkan ikat pinggang". Kalo ada waktu sedikit, setelah dipikir-pikir emang lebih baik buat belajar. Jadi yah, sekarang saya sering pulang telat. Dan gak ada waktu untuk menunggui speedy yang lemot sangat ini untuk sekedar menulis keluhan di blog ini.

Pengen ngeluh. Hohohoho. Walaupun bisa dibilang ini baru stretching, prolog kelas tiga ini "lumayan" juga lo. Dimulai dengan intro yang lumayan sesuai keinginan. Sekelas lagi bersama Dinda dan Pramud. Sedih deh, gak bisa pulang bareng para LC (genk-26-turun-superindo-kecuali-gue-turun-MM) lagi gara-gara jadwal les yang tabrakan. Ini gara-gara ILP, haha. Dan niat untuk sedikit lebih rajin yang mulai membuahkan hasil. Sekarang gue udah gak terlalu blank loo sama fisika. hehe. Dan ternyata gue mesti mengatur ulang jadwal les ini-itu bla bla bla. Dan juga sepertinya memperbaiki pola makan kalo gak mau disangka anoreksia beneran. Oh iya, sampe dua minggu ini, gue belom pernah tidur di kelas! Alhmadulillah. Yah pokoknya secara keseluruhan  prolognya mengisyaratkan tahun ini akan lebih "mudah untuk dinikmati" daripada tahun kemaren. Amiin.

Bingung mau nulis apa lagi. Sebenernya gue banyak mendapatkan banyak pandangan-pandangan baru, tapi lagi mandek sekarang, ya udahlah. Biarin aja postingan ini jadi ngalor ngidul.

Oh iya, seminggu lalu 2 hotel di mega kuningan di bom. Ckckckck. Jujur, gue jadi agak parno. Memang susah dan merepotkan dan membuat trauma kalo udah berurusan dengan orang-orang dengan campuran idealis-anarkis-berani mati ini.

Hm... apa lagi ya. Oh iya, gue gak nyangka perolehan suara JK serendah itu. Gue kira buaian janji pro rakyat Mega gak akan menolong jumlah suaranya dan kalo sampe ada putaran kedua yang bakalan masuk SBY-JK. Ah yasudahlah ngomongin politik bete juga lama-lama.

Anyway, gue bingung mau nulis apalagi. 

Doain gue ya biar tahun ini happy ending. :)

Jumat, 12 Juni 2009

Perubahan dan Zona Nyaman

Kalo yang ini terinspirasi dari ‘Tidak Ada yang Konstan’ di gini-arimbi.blogspot.com (visit ya). Satu hal yang membuat saya tidak nyaman, perubahan drastis. Bahkan saya cenderung takut. Lalu apa yang biasanya dilakukan orang-orang saat merasa tidak nyaman?Menghindarinya kan? Tapi sayang, saya gak mungkin bisa menghindari perubahan. Karena itu takdir. Itu memang sesuatu yang semestinya terjadi dan harus kita hadapi (kalau kita cukup berani).

Kalo diibaratkan, zona nyaman kita adalah cahaya lurus konstan. Dan perubahan adalah media kasar yang menghasilkan pemantulan baur. Dan difusi cahaya inilah ‘zona nyaman’ kita sekarang, membaur, tidak teratur,mengejutkan dan membuat kita tidak nyaman.

Perubahan, seringkali lebih merupakan sesuatu yang bukan kita inginkan. Tapi yang lebih berat lagi sebenarnya menghadapi keadaan fluktuatif dan proses adaptasi terhadap perubahan itu sendiri. Lalu, bagaimana cara menghadapi perubahan? Ikut berubah. Ya, selama itu bukan perubahan mendasar seperti karakter. Mungkin misalnya merubah cara pandang dan cara menyikapi sesuatu yang berubah itu. Karena kalau kita terus menerus statis, tetap terkungkung pada masa lalu dan zona nyaman lama kita yang bakal ada hanyalah derita-derita-dan derita. :p . (menginginkan sesuatu yang sudah tidak ada –karena berubah- memangnya apa yang bakal terjadi karena itu?)

Oleh karena itu, karena perubahan terkadang menyakitkan, saya jadi memotivasi diri saya sendiri untuk tidak merasa terlalu nyaman bahkan di dalam zona nyaman saya sendiri. Karena suatu hari, pasti zona nyaman kita akan berubah menjadi bukan zona nyaman. Intinya, saya cuma bersikap waspada dan menjaga jarak. Ibaratnya jangan terbang terlalu tinggi kalo gak mau jatuh terlalu sakit. Guru saya pernah bilang ketidaknyamanan itu kunci kesuksesan. Mungkin maksudnya setiap orang yang sudah berhasil memang harus menghadapi fase ‘tidak nyaman’. Karena itu, jadi, ya hadapi saja perubahan. Tapi sebagai tindakan preventif, saya merasa lebih baik tidak usah merasa terlalu nyaman sekalian.

Tapi lepas dari itu semua, saya percaya time heals anything. Suatu saat mungkin kamu harus terpisah dari zona nyaman kamu, tapi perlahan-lahan kamu akan membangun zona nyaman baru-bahkan tanpa kamu sadari-. Dan saat kenyamanan baru mulai terbentu, bahkan kamu akan lupa pernah merasakan kenyamanan yang sebelumnya. Yah, bersyukurlah kita punya titik jenuh. Otak kita punya titik jenuh dan merasa lelah kalau terus-terusan memikirkan hal itu saja. Karena sebenarnya adalah suatu kebutuhan bagi diri kita sendiri untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang lebih relevan. Saya percaya kok, selama kita gak menutup diri.

Have a Nice Day

Setelah membaca postingannya Dijelennon di volgoriancabalsette.blogspot.com (visit), yang berjudul Hava a Nice Day yang bercerita tentang hari buruknya. Oke, kita semua punya hari buruk. Atau, sesuatu yang kita sebut hari buruk. 

Hm.. pengen bilang ke diri sendiri sebenernya “have a nice day”, tapi di postingan ini saya lagi pengen ngeluh. Minggu-minggu ini bener-bener minggu –merasabersalahkalaubersantai-. Yap, UB semester 2. Saya berharap, berharap dan berusaha buat bisa ngejadiin UB ini sebagai pemanasan untuk persiapan menghadapi semester-semester krusial yang udah di depan mata. Jadi, saya udah ambil ancang-ancang jauh-jauh hari sebelumnya. Lebih jauh dari yang biasa saya lakuin. Belajar-belajar-belajar. Dan hasilnya di minggu-minggu dimana semua orang menjadi sangat individualis ini (kesialanmu adalah keberuntunganku [kalau itu tidak terlalu kasar]), yang ada saya malah stress. Well, saya gak tahu si stress itu apa, tapi gejala fisik kayak berat badan menyusut, ‘siklus’ yang kacau, gak bisa tidur nyenyak, heart beat, gampang sakit perut, well… itu namanya stress bukan? (have a nice day! –or week?-)

Diawali dengan diare yang melanda akhir minggu lalu (have a nice week!). Sukses memundurkan acara-belajar-akhir-pekan- yang seharusnya jadi waktu paling efektif untuk belajar sebelum UB. 

Terus yang mengecewakan dan bikin down, udah belajar tetep aja remed (have a nice week!). Minggu ini benar-benar titik gue-tukang-putus-asa-merasa-benar-benar-buruk-dan-ketakutan-akan-masa-depan.

Well… sebenernya dari semua keburukan (atau apa yang gue sebut buruk) itu bukan takdir, itu adalah kesalahan yang masih bisa diperbaiki. (Alhamdulillah)
Dari ‘keburukan’ pertama saya –stres gak jelas beserta akibatnya-. Itu sebenarnya cuma bentuk kompensasi untuk saya karena gak siap UB. Itu adalah harga-yang-harus-saya-bayar- dari sikap apatis saya terhadap urusan sekolah selama ini. Lalu akhirnya kepanikan itu pun melanda dan menyajikan beragam akibat.

Terus, masalah diare itu. Ini pelajaran untuk kita semua. Perhatikan apa saja yang masuk ke perut kamu terlebih kalo itu udah H-7 UB semester 2 (atau H-7 simak-UI, H-7 utul UGM, H-7 kawinan kakak atau H-7 acara penting kalian). Karena disaat diare itu melanda kamu gak akan bisa mikirin konsentrasi. Kamu gak akan bisa mikirin efisiensi mesin Carnot karena yang ada di otak kamu cuma kloset-new diatabs-kloset-neo entrostop-kloset-oralit. Jadi berhentilah makan makanan ‘sintetis’ dan berhenti makan ‘keripik radang tenggorokan’. (fyi, keripik yang sarat akan MSG dan mechin ini selain membuat amandelmu bertambah besar juga bisa menurunkan daya intelegensi).

Dan tentang remed tiada batas itu. Hm, dear, jangan mulai bertingkah kaya 'pengacausistemyangberkuasa' dan antek-anteknya yang cuma fokus pada hasil akhir dan gak peduli sama prosesnya. Terserah lo mau nyontek, ngebet atau usaha keras yang penting hasil akhir lo memuaskan. Kali ini tolong jangan terjebak sistem. Tapi ternyata selama ini saya begitu memikirkan hasil akhir. Makanya selalu baru belajar keras pas udah deket-deket hari H. Padahal kalo yang kita cari cuma sekedar nilai, dengan sedikit pengetahuan tentang hack-mengehack, lo bisa dengan mudah menyabotase nilai-nilai di SAS, abis itu lo bisa tenang-tenang aja walaupun otak lo gak ada isinya. Buat apa kita sekolah kalo kayak gini? Kayak yang saya kutip dari sebuah artikel di kompas "...bahwa pendidikan bukan hanya sekedar masalah manajerial saja-sampai harus disertifikasi dengan ISO- tetapi bagian dari proses kebudayaan guna menumbuhkan kepercayaan dan integritas diri sebagai individu dan warga bangsa negara. Dengan demikian pendidikan akan melahirkan manusia yang memiliki kepercayaan diri tinggi untuk hidup merdeka. "  Jadi mulai sekarang, lupakan belajar kebut semalam kalau ingin pintar. 

Sebenernya hari buruk, nasib buruk or whatever you call it itu gak ada. Itu semua cuma sesuatu yang harus kita tanggung karena kita melakukan kesalahan. Saya percaya dengan pepatah lama ‘apa yang kamu tanam, itu yang kamu petik’ itu bener banget walaupun terdengar klise dan begitu teoritis. Dan mari mencoba untuk tidak mengeluh, di luar sana lebih banyak orang-orang yang hidup lebih susah.

Senin, 04 Mei 2009

Waktu yang Berkualitas

Hari ini saya kebingungan milih. Ikut bonyok yang ngajak pergi, latihan drama atau jalan sambil merancang film dokumenter bareng temen-temen smp. Akhirnya, menimbang saya udah lama gak ketemu mereka (gak segitu lamanya juga si) dan rasa tanggung jawab sama temen-temen yang lain, akhirnya saya milih ketemu temen smp dan latian drama setelahnya (walaupun agak telat, dan hampir batal karena hasutan Nikki dan Amel).
Biar abis ketemu bisa langsung gampang ke rumah temen, saya mutusin buat ketemuan di castle burger yang deket sama Persada. Dan di sanalah saya, menunggu teman-teman yang masih terjebak kemacetan di kemang sambil berfirasat apa mending gak latian drama sekalian... Hari ini saya mau ketemu Nikki (yang hobbi akting) dan Amel (yang suka ngatain saya dan Nikki aneh juga lebay, whereas, she does too.haha). Setelah beberapa lama nunggu sambil kertas menu tetap di meja, tiba-tiba… dari arah luar datang si Zahra temen sekelas yang harusnya latian drama juga kaya saya tapi dia izin mau ke kawinan sepupunya.
Zahra : Lah Rin, gak latian drama? (nada agak kaget)
Gue : Hm, hm, ya ntar, emang udah mulai ya? Hehe, mau janjian dulu sama temen. (yah, ke-gape sedikit niatan bolosnya)
Zahra : Berdua aja?
Gue : Enggak, bertiga
Zahra : Oooo (bla-bla-bla akhirnya Zahra balik lagi ke mejanya)
Dan saya nunggu lagi. Tapi berkarya harus tiada henti. Jadi sembari menunggu saya ngegambar bapak-bapak di meja seberang di belakang kertas menu. Sampe akhirnya mereka pada dateng, (komentar pertama Nikki : sok gambar sketsa ni ah.haks) sambil ber- “Haaalllo Ariiin!!” agak keras. Dan emang dasar temen-temen saya ABG tulen jadi wajar kalo pada gak nyadar suara mereka membahana seluruh castle pas nyapa saya itu. Sampe si Zahra yang bisa dibilang anak paling normal dan realistis di kelas saya nanya “Itu temen-temen lo rin?”
Ya sudahlah, seraya mereka dateng langsung duduk sambil mulai menghasut saya buat gak usah latian drama masih dengan ke-ABG-an itu (baca : suara bahana). Terus kita nelepon si Ila(yang pengen jadi sutradara) buat ngajakin kumpul sekalian berhubung kita ngumpul emang niatnya ngomongin film dia eh dia malah gak dateng katanya lagi banyak tugaslah apa. Ya sudah akhirnya kita mengobrol-ngobrol, (diselingi menghasut saya lagi dan lagi) mulai dari ngomongin merk rokok si *beep* yang beralih dari Marlboro merah ke Marlboro apa gitu gue lupa (baca : hal gak penting) sampe curhat-curhat biasalah cewe (baca : hal penting).
Dan sampai makanan kita habis, mereka masih menghasut saya sekarang lengkap memberikan alternatif alasannya juga mulai dari bilang aja mau jenguk temen sakit (ini kebohongan, saya gak mau) sampe alasan sinetron “karena-kamu-mantanku“ (terlalu dramatis, bisa-bisa saya diketawain yang punya rumah) tapi saya memutuskan untuk dateng dulu ke rumah temen saya dan melihat keadaan. Dan bagai gayung bersambut (apa dayung bersambut?) ternyata anak-anak yang lain belom pada dateng, dan akhirnya saya jalan dulu bareng temen-temen saya itu.
Mengingat krisis financial yang sedang mendatangi kami bertiga secara bertubi-tubi, akhirnya kita memutuskan untuk jalan ke Senayan biar gak tergoda beli-beli. Ya tergoda si tergoda, cuma gak sanggup beli aja kalo gak ada bonyok.
Tapi tak disangka tak dinyanya tinggal 1 km lagi masuk tol dalam kota Amel dapet telpon dari bokapnya, “Amel, jemput kakak di Bandung sekarang.” Waaa… batalah seluruh rencana kita, akhirnya kita puter balik pulang lewat kalimalang yang ternyata padat banget. Udah mana panas pula. Di jalan kita bikin video yang (harusnya) berisi motivasi dan support buat Ila untuk jadi sutradara yang bakal dikasih liat ke bonyoknya biar jalan Ila buat jadi sutradara bisa dibolehin sama mereka.
Tapi tapi tapi, berhubung itu jalanan macet parah ditambah silau dan bosen isi videonya jadi ngalor ngidul ngomongin mantan-mantan pacarlah, curhat colonganlah udah mana kelepasan ada joget-jogetnya segala. Jadi batalah niat suci kami mendukung Ila.
Dan… setelah muter di Radin Inten, si Amel dapet telpon lagi dari bokapnya, “Mel, kakak udah di jalan, boleh main lagi. “ Waaa… kenapa gak daritadi om? Udah masuk Kalimalang ini... Ya mau aja balik lagi tapi udah keburu males liat jalanan arah baliknya. Ya sudah akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke arah pulang tanpa tujuan jelas. Eamng niatnya dari awal cuma pengen kongkow sambil ngomongin film. Di jalan akhirnya kita bikin video-video lagi sampe part III, foto-foto dan Nikki liat kanan-kiri semangat banget nyuruh gue cari pacar baru dan nemuin cowok di Kia Sporty item sebelah. Kocak juga ngeliatin orang lagi bete nunggu macet, mulai dari bolak-balik liat jam (kayaknya telat janjian) sampe garuk-garuk kepala (kayaknya ketombean). Semoga aja tuh cowok gak nyadar kalo dari tadi di shoot.haha. Emang hari ini penuh dengan keenggakjelasan.
Dan akhirnya kami terdampar di mall Nyari Fanta Aja Susah Dan Demi Pertimbangan Beberapa Hal Lebih Baik Namanya Kami Samarkan (sebut saja Mall NFASDDPBHLBNKS). Nyari minum sama makan dimsum. Di mall NFASDDPBHLBNKS ternyata ada toko buku second dan saya nemuin buku yang ada karya-karyanya Affandi dan memang Affandi sang maestro ekspresionis, karya-karyanya memang tiada duanya. Keren deh, pokoknya. Saya inget pernah soksok nyoba gaya dia, tapi jadinya malah abstrak gagal gak jelas. Ngelukis penari bali, malah dikira Nyi Roro Kidul sama ade’ saya. Dan akhirnya setelah puas ini-itu gak jelas, kita balik ke aktifitas masing-masing lagi. Dan saya balik ke rumah temen di Persada buat bikin bunga-bungaan dari kertas crepe seharga 7000/lembar buat drama (Apid salah beli, padahal ada yang 1000an harganya).

Emang bener ya, kalo bareng temen semua berasa menyenangkan. Walaupun yang kami lakukan hanya spontanitas-spontanitas dan berbagai ke tidak jelasan dan tanpa tujuan, tapi spending time bareng mereka membawa angin segar bagi kehidupan yang menjenuhkan ini (saya bosan rutinitas, bu) dan lumayan mengistirahatkan saya dari atmosfer tegang di sekolah dan kehidupan edukasi saya yang berantakan akhir-akhir ini (nilai turun, nilai remed gak masuk, SAS eror, tugas ini-itu, ulangan yang boleh dibawa pulang –kurang cacat apa lagi sekolah gue?-, waktu belajar yang bisa dibilang gak efektif akhir-akhir ini mana kalo di sekolah bawaannya pengen tidur mulu). 
Waaa… I love this quality time!

Jumat, 27 Februari 2009

Murid Teladan?

Apa gue benci fisika? Hm...enggak, ditengah sulitnya pelajaran itu tapi terasa sangat puas kalo bisa mecahin soal. Saya cuma merasa fisika gak ada dalam zona nyaman saya.

Tapi apa yang bisa gue lakuin di pelajaran fisika? Itu benar-benar pertanyaan dengan jawaban mudah dan tidak berbobot.

Jadi ini yang bisa gue lakuin di pelajaran fisika...

Berebut tempat di barisan kedua dengan maksud ingin mendengarkan pak anton agar sedikit mengerti. Selang beberapa waktu saat papan tulis mulai penuh, ternyata bukannya setetes ilmu dari pak anton yang didapat tapi otak terasa makin keruh. Dan akibatnya, selembar kertas putih dan pensil menjadi lebih menarik daripada fi-si-ka itu, ya udah deh, ngegambar lebih enak. Sambil sayup-sayup terdengar suara orang ngomong, "...ya jadi ini torsinya bisa didapat dengan...." dan resah-resah ngeliatin jam.

Dan akhirnya di lain-lain waktu, begitu pelajaran fisika, langsung aja ngambil tempat paling belakang, siapin head set atau apa kek empuk-empukin tas biar enakan buat tidur. 

Berakhirlah karir saya sebagai murid ingin pintar.

Tapi belakangan ini saya mulai mikir, "gimana nasib gue tahun depan, kalo gak ngerti fisika sama sekali..." segala probabilitas untuk masuk ITB atau ngambil jurusan ipa apa gitu jadi terasa memudar. Karena itu saya jadi mulai introspeksi perihal alasan-alasan kenapa fisika tidak terdapat dalam zona nyaman saya.

1. Saya gak suka buku fisika saya, pink-nya aneh. Agak aneh juga isinya. Bayangin aja, masa di semua bab, di  pendahuluan pasti ditulis "...nah, sekarang mari kita pelajari bab ini dengan gembira dan antusias..." (???). Udah keburu muak gue liat buku aja.

2. Saya gak pernah bawa buku, abis buku fisika berat dan terasa percuma juga kalo gue bawa.

3. Sekalinya gue bawa buku, buku gue terlihat masih sangat baru dan rapi a.k.a. emang gak  pernah dibuka apalagi dibaca di rumah (ataupun di sekolah)

Dengan mengingat semua alasan itu, ditambah mengingat hal-hal yang saya lakukan selama pelajaran fisika (misalnya menggambar, mendengarkan lagu, tidur, mencetin jerawat), maka tampaklah sekelebat bayangan muka mama papa yang mengharapkan gue masuk FK (dan entah gue bisa apa enggak setelah semua yang gue lakukan di pelajaran ini-dan di beberapa pelajaran ipa lainnya-) juga sekelebat bayangan muka guru-guru fisika saya sedari smp yang sudah susah payah mentransfer ilmu tapi sayanya eror terus

For God's sake, nista banget gue jadi anak, jadi murid juga..

Setelah itu, saya belum selesai berfikir. Saya mikir lagi gimana caranya jadi murid agak teladan sedikit. Dan agar tidak menjadi murid nista seperti saya, saya punya beberapa saran semoga lurus...

1. Turunkan nilai marjinal kemuakan lo terhadap fisika. Misalnya lo muak ngeliat rumus fisika yang lebih banyak daripada jumlah soal ulangan fisika itu sendiri, nah, catat semua rumus gede-gede di kertas gambar A3 terus tempel deh, di tembok kamar, liatin tiap hari. Awalnya muak, lama-lama nilai marjinal kemuakan lo itu akan segera turun. Haha.

2. Belilah buku fisika yang benar-benar akan kamu baca

3. Belilah spidol warna-warni yang akan membuatmu tertarik membaca catatan

4. Tutor sebaya. Haha, cara paling efektif kalo lo udah terlalu cape buat bimbel dan kalo bimbel pun bisa dipastikan lo cuma bakal tidur di sana.

5. Berniat baiklah sedikit, baca aja buku fisika lo sehari sebelum pelajaran fisika, apalagi kalau mengingat cara ngajar guru lo yang gak akan bisa dimengerti kalo dari awal otak lo kosong.

6. Kalo emang niat banget, duduk aja paling depan tiap pelajaran fisika, jauhkan hal-hal yang menggoda. Misal kudapan, hand phone dll. 

Yah,beberapa saran ini belom gue coba sih.haha. Coba deh lo coba, kalo berhasil gue juga mau coba.

Gue tetep pusing sama fisika, tapi mau gimana lagi, udah masuk ipa, ya mestinya dari awal tau bakal ketemu yang beginian bukannya pelajaran memasak atau teater. Jadi ya, hadapi saja.

Oh,iya, saya inget sama kata-kata Pak Mufid. Kita tuh mesti punya mind set. Jangan membiarkan hidup kita mengalir bagai tokay dalam air. Begitu kata beliau. Jadi kalo dari awal pengen jadi akuntan, gak usah repot-repot masuk IPA, ilmunya pasti mubazir dan kebuang. kalo pengen jadi dokter, ya ipa jalannya. Tapi sekarang saya bingung, kalo cita-citanya pengen jadi pemusik, seniman , atlet, atau sutradara mesti masuk jurusan apa di SMA? Apa gak usah sekolah? Haha.

Kenapa gak ada jurusan seni dan jurusan olahraga di SMA? Apa menurut si pembuat sistem IPA IPS itu udah mencakup semuanya? Enggak kan. Dari sistem kita aja, bukan sistem yang menuntut kita untuk punya mind set. Contoh deket aja, kalo gue pengen jadi dokter, berarti gue mesti masuk ipa. Gue mesti belajar fisika dan padahal yang kepake palingan biologi matematika. Mau dikemanain ilmu fisika gue? Palingan jadi sampah, sama aja nyape-nyapein. Sekarang ditambah lagi lo bisa ngambil jurusan IPC kalo mau kuliah.

Hah. Sistem apa kayak gini.

Yah, walaupun kemungkinan saya juga bakal ngambil IPC.

Temen saya yang pengen jadi atlet futsal terpaksa masuk jurusan IPA. Ilmu-ilmu dia buat apa ntar? Kebuang.

Temen saya yang lainnya pengen jadi sutradara, niat banget dia pengen sekolah ampe Hollywood, tapi gak diizinin hidup sendiri di sana sama bokap nyokapnya. Bolehnya ntar. Sekarang sekolah di sini dulu. Dan masuk jurusan apa? IPA. Gak ada hubungannya sama dunia perfilman.

Kenapa ya kita dituntut untuk belajar SEMUANYA? 

Kenapa kita perlu mikirin prospek pekerjaan apa aja yang terbentang seandainya kita milih suatu jurusan. Saya tau, atlet dan seniman kurang dihargai di sini. Kesempatan untuk menjadi 'kaya' nya kecil.  Tapi apa kita gak bisa menciptakan prospek pekerjaan itu sendiri?

Saya berharap, berharap sekali. Suatu saat nanti situasi dan SISTEM bisa membiarkan kita memilih sesuatu yang memang kita mau, sesuatu yang dari hati.

Mungkin kalau kita dibiarkan memilih apa yang kita sukai dari hati dan dididik lebih matang dan lebih FOKUS pada hal itu saja, kita bisa memberikan kontribusi yang lebih besar dan lebih NYATA untuk orang tua, nusa bangsa almamater, haha apalah.

Oke,haha. Belajar fisika yuk.

hehe

Jumat, 30 Januari 2009

Menemukan Tempat

Judul hari ini adalah 'finding my place in life'.  Apa tempat saya ada di sini?

Itu pertanyaan yang sangat bagus.

Tapi saya ingin membicarakan tentang kesalahan-kesalahan fatal yang sudah saya buat. 

Satu, saya salah menempatkan diri. Saya bersalah,karena ada di sini. Saya pikir, ini bukan tempat saya.

Seharusnya saya ada di Afrika, mengagumi dan membaui rumput.

Atau di depan jendela besar, menulis.

Jadi, apa itu menemukan tempatmu? Itu adalah menemukan tempat dimana kamu mencapai titik klimaks, ejakulasi. Begitu istilah Putu Wijaya.

Merasakan kepuasan entah semu tapi penuh.

Saya seharusnya ada di belakang panggung, berlatih teater bersama teman saya yang juga setengah gila.

Bukannya duduk di kelas pengap mendengarkan bagaimana cara menghitung gaya yang dihasilkan 2 orang habis tabrakan.

Saya terjebak sistem. Itu yang terjadi.

Dan berusaha mengejar karier agar hidup kaya sambil mencari jodoh termasuk sistem.

Dua, kesalahan saya adalah menyesal.

Terus-menerus merasa salah tempat yang berakhir jadi mengharap-harap kembali ke masa lalu adalah percuma.

Sabtu, 03 Januari 2009

sinus dan kosinus 45

Masih ingat dengan pelajaran trigonometri?

Tolonglah diingat sedikit saja...

sinus 0 adalah 0

kosinus 0 adalah 1

sinus 90 adalah 1

kosinus 90 adalah 0

dalam banyak kasus...

laki-laki adalah grafik kosinus

dan perempuan adalah grafik sinus

Pada titik awal atau titik nol derajat, laki-laki berada pada titik puncaknya atau pada titik 1. Dan perempuan berada pada titik 'biasa saja' atau pada titik nol.

Artinya, pada masa awal suatu relationship, kita bisa liat kan para pria diluar sana mengejar perempuan-perempuan bagaikan mangsa dengan semangat menggebu. Sedangkan perempuan, pada awalnya, hanya diam saja, adem ayem walaupun agak menikmati...yah walaupun sedikit.

Lalu, karena pada dasarnya semua cowok mempunyai bakat alami sebagai seorang politikus. Perlahan-lahan hati para cewek luluh. Dan bagaikan grafik sinus yang terus merangkak naik, begitulah cara cewek menikmati suatu relationship. Dimulai dari titik nol. Dan pada kebanyakan cerita... berakhir dengan kehilangan kendali. 

Kehilangan kendali pada perasaan mereka sendiri.

dan cowok, usai memangsa, dan mendapatkan apa yang mereka kejar, mulai menurunkan secara otomatis nilai marjinal terhadap suatu relationship. Dan bagaikan grafik kosinus yang perlahan-lahan turun, 'mungkin' begitulah para pria menikmati suatu relationship. Berakhir di titik nol, titik jenuh.

Dan di akhir cerita, pada saat perempuan berada di titik puncak, titik paling menikmati relationship itu, titik paling-pada-akhirnya-sangat-menyayangi (atau apalah)-cowok-yang-memangsa-mereka-dan-membuat-hati-mereka-luluh, cowok ada di titik jenuh. Titik nol. Titik bosan. dan ingin lepas.

benarkah begitu menurut anda?

Oke, dan karena sudah seharusnya alam ini seimbang. Seperti yin dan yang, kanan dan kiri atau musim kemarau dan musim hujan, maka sebaiknya bertahanlah  pada titik keseimbangan.

Sinus dan kosinus 45 derajat. Saat nilai kita, cowok dan cewek sama-sama 1/2 akar 2. Artinya, sayangilah pacarmu secara biasa-biasa saja. :)

NB : Saya gak tau hubungannya apa sama posting ini, tapi saya suka quote ini

"women made from the ribs of men, near his arm to be protected, near his heart to be loved."