Selasa, 19 Februari 2013

Jenuh.

Hening aku pening
Bising pun bikin pusing

Jenuh, jenuh hingga berpeluh

Kamis, 17 Mei 2012

Dodotan

Dari dulu saya mauu banget, nanti kalo nikah pake baju dodotan solo, kira-kira baju dodotan itu seperti foto diatas. Tapi berbuhung saya sudah pake kerudung, jadi sepertinya saya ga bisa pake baju dodotan ini.


 Selama ini, saya dan teman-teman perempuan saya cukup sering membahas soal pernikahan. Baik dalam konteks bercanda (yang tidak benar-benar akan kami lakukan) semisal “Ah gue capek kuliah, gue mau nikah aja!” maupun serius (yang mungkin saja akan kami lakukan) seperti , “Nikahan gue nanti lo semua pake seragam ya!”. Dan rata-rata teman-teman saya bilang kalau mereka mau menikah kira-kira lima tahun lagi. Lima tahun. Lima tahun itu singkat loh, dan saya masih canggung membayangkan bagaimana rasanya nanti, ketika salah satu dari kami sudah ada yang menikah lalu ketika kita mau pergi dia bukannya minta izin sama orang tuanya tapi sama suaminya. Kaya apa rasanya....

 Saya tidak tahu, apa ini cuma di fakultas saya yang anak-anaknya “kebelet” nikah, karena bahkan anak-anak cowok sering nyepet bahas pernikahan. Kami sering membahas tentang pernikahan. Mulai dari mas kawin maunya apa, pakai adat apa, siapa yang rancang kebaya sampai tipe menantu idaman bagi orang tua orang tua kami. Novi mau seperangkat M.A.C. make up untuk mas kawin walaupun sebagian besar cewe-cewe fkg mengidamkan seperangkat dental unit untuk mas kawin. Mila mau kebaya nikahannya didesain sama Anne Avantie. Resti mau pengisi acara untuk resepsinya full band bukan cuma organ tunggal. Kami penasaran bagaimana ramenya nikahan Fitri yang kemungkinan akan memakai adat betawi nanti, hebohnya nikahan Vio yang hampir pasti pakai adat batak nanti. Dan saya sendiri, karena papa saya orang Palembang, saya mau banget nari Pagar Pengantin.

 Yah, selama ini yang kami bicarakan memang hal-hal superfisial mengenai pernikahan. Kebaya dan gaun, adat dan perayaan. Tapi kenyataannya pernikahan itu for a life time. Tidak hanya sehari dua hari selebrasi.

Semakin saya besar, semakin saya menyadari bahwa semakin tua manusia itu semakin jauh dari impulsif, semakin under control, semakin memikirkan perasaan orang banyak, semakin berfikir “kalau saya begini orang lain bagaimana ya?”. Seperti misalnya ketika masa-masa SMP SMA dulu, buat saya pacaran itu untuk senang-senang, kalau pacarmu ga bikin kamu senang, ya putus saja, kalau kamu bosan sama pacarmu, ya putus saja. Tapi belakangan saya berfikir sampai kapan saya mau berfikir secuek dan setidak peduli itu.

Semakin besar, saya juga makin merasa perjalanan hidup kita tidak cuma panjang tapi juga berliku. Lulus kuliah, berkerja lalu menikah pun jadi tidak sesederhana kelihatannya. Dan sepertinya saya belum sesiap itu untuk berani menentukan sekian tahun lagi saya akan menikah. Selama ini yang saya dan teman-teman saya fikirkan tentang pernikahan mungkin cuma soal bagaimana pesta pernikahan harus menyenangkan, bagaimana acara seremonialnya berjalan khidmat dan semua orang memberi ucapan selamat. Tapi setelah itu, setelah jam sewa gedung habis, tamu-tamu pulang, petugas catering mulai beres-beres, lampu dan hiasan diturunkan, yang tersisa adalah kita.


Kita. Aku dan kamu. Berbagi segala hal. Mulai hal-hal fisik seperti tempat tidur, lemari pakaian, rak sepatu. Sampai berbagi tahu hal-hal seperti jumlah penghasilan, rahasia dan aib. Kita mungkin pernah diberi kepercayaan oleh seorang teman untuk menjaga rahasianya. Tapi sepertinya rasanya berbeda ketika itu adalah rahasia atau aib kamu karena seharusnya rasanya seperti menjaga rahasia milik diri sendiri. Kita. Aku dan kamu, bukan lagi aku bersama kamu, tapi aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Kita, dalam konteks pernikahan adalah aku dan kamu yang manunggal.

People do changes 
Naif rasanya kalau meminta seseorang agar tidak berubah. Semua orang pasti berubah karena interaksi sosial itu dinamis. Lalu siapa yang akan menjamin seseorang yang kita nikahi hari ini masih orang yang sama pada sepuluh atau dua puluh tahun lagi? Siapa yang tahu akan jadi seperti apa sosok idaman yang hari ini kita banggakan di depan orang tua dan teman-teman kita beberapa tahun kemudian? Mungkin si sopan dan lembut sudah berubah menjadi si kasar dan suka main tangan. Mungkin si sabar sudah berubah menjadi pemarah. Mungkin si romantis sudah berubah menjadi si datar. Jangankan interaksi sosial, hormon manusia saja fluktuaktif.

 Kebosanan
 Menikah adalah merelakan hari-hari dalam sisa hidup kita diisi oleh orang yang kita nikahi. Bedanya dengan pacaran, kita tidak bisa pergi begitu saja atau mengajukan alasan semacam “aku lagi mau sama teman-teman aku” kalau sewaktu-waktu kita bosan. Kalau masih pacaran dan sedang bosan kita bisa menghilang seharian lalu beralasan, “maaf, aku tadi keasikan main game online sama teman-teman” pacarmu mungkin masih bisa terima, tapi kalau sudah menikah dan kamu mengajukan alasan seperti itu, dijamin istrimu akan mengamuk. 

Memang, semakin difikirkan rasanya semakin masih jauh dan belum siap untuk memakai dodotan atau menari pagar pengantin. Tapi saya rasa, ini adalah soal menemukan orang yang tepat. Seseorang yang entah kenapa masih bisa kita terima dan sayangi meskipun nantinya melakukan banyak kesalahan yang entah besar atau kecil. Seseorang yang eksistensinya bukan hanya untuk status sosial atau apapun, tapi yang kita inginkan ada hanya karena memang kita ingin dia ada. Seseorang yang membuat kita merasa senang untuk alasan-alasan sederhana atau bahkan tanpa alasan. Seseorang yang diam-diam kita doakan untuk dipertemukan kembali oleh Tuhan di surga.

Minggu, 04 Maret 2012

It Heals

World rounds.
Time goes.
People change.
Relationship fluctuate.
Memories fly. Half stay.

I grow. And understand..


..then take it easy.

Rabu, 09 Februari 2011

Pecah Perang

Nina kecil merasa senang saat mendapat oleh-oleh sebuah kalung dengan bandul bergambar kincir angin dan bunga tulip dari bude-nya.
"Papa, bude habis dari Belanda ya?" tanyanya pada papa saat bude pergi ke dapur untuk mengambil minum.
"Iya."
Mata Nina mendelik tidak suka, "Ngapain bude ke sana? Belanda kan pernah menjajah kita?!" katanya sok tua.
"Iya, tapi kita kan sekarang sudah damai. Sudah berteman lagi."
Nina diam dan manggut-manggut. Dia pernah berfikir mungkin budenya pergi ke Belanda untuk memukuli orang-orang Belanda yang pernah menjajah Indonesia karena ia-pun merencanakan hal itu kala-kalau suatu hari dia pergi ke Belanda.
Nina benci penjajah. Karena kata ibu guru di TK, penjajah membuat rakyat Indonesia menderita. Tapi memangnya anak kecil tahu apa soal menderita? Baginya menderita ya menderita. Menderita itu tidak enak.
Tapi ayahnya bilang, kita sudah berdamai, jadi Nina tidak membenci Belanda lagi.
Nina memercayai ayahnya. Baginya papa selalu benar karena papa pintar. Bahkan Nina percaya kalau papanya akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan pembawa acara dan membawa uang satu milyar kalau-kalau papa ikut kuis di televisi yang terkenal itu .
*
"Jadi perang dunia itu sampai dua kali??" Nina kecil sampai berhenti memuntir rambutnya-kebiasaannya kalau sedang tiduran- saat neneknya bercerita tentang perang zaman dulu. Ngeri juga dirinya membayangkan seluruh dunia ini bertengkar.
"Iya..." nenek Nina memang selalu mendongeng sebelum mereka tidur ketika mereka saling menginap.
"Jadi nanti ada perang dunia ke-3 dong?" tanya Nina penuh rasa ingin tahu.
"Haha..." nenek Nina tertawa kecil, "Tidak mungkin, karena kita kan sudah berdamai." Perasaan kuatirnya sedikit terobati.
Nina manggut-manggut. "Kayak apa rasanya tinggal di zaman perang nek?"
"Hmm," gumam nenek. "Dulu nenek tinggal berpindah-pindah bersama mama dan papa nenek." Nina manggut-manggut lagi. "Sudah sekarang Nina tidur, nenek juga sudah capek bercerita."
Tapi Nina kecil tidak bisa tidur, bahkan sampai neneknya tertidur pulas.
"Nek..." gumam Nina pelan, "Nenek."
"hmm..?" bahkan neneknya tidak membukakan mata.
"Bener kan perang dunia ke-3 gak akan ada?"
"Iya..."
Baru Nina bisa tidur.
*
Anak-anak tumbuh dengan memercayai. Namun kepercayaan itu bisa cepat berganti kekecewaan ketika mereka mulai melihat sendiri. Melihat-beropini atau melihat-tidak mengerti lalu bertanya atau bisa juga melihat lalu mendebat.
Kekecewaan pertama Nina adalah ketika ia diberi tahu kalau matahari tidak muncul di sela gunung dengan satu sungging senyum.
Dan ketika ia menyadari bahwa mungkin saja papa tidak bisa memenangkan kuis dan membawa pulang uang satu milyar, ia sudah tidak seberapa kecewa.

Nina menggenggam remot mengganti-ganti saluran tv-kebiasannya kalau sedang tiduran setelah mulai puber-. Nenek sudah jarang menginap, sudah jarang mendongeng. Nina pun sudah jarang menginap di rumah neneknya. Dia sekarang lebih suka menonton tv kalau akan tidur. Saluran tv-nya daritadi menayangkan berita soal kerusuhan di banyak negara. Kota porak-poranda. Wartawan-wartawan terjebak. Orang-orang terluka. Tempat-tempat jadi rebutan.
Benda mati hancur. Benda hidup menderita.
Mungkin dendam itu laten,
mungkin rakus itu mendarah daging,
mungkin kita memang binatang.
Nina mematikan tv dan menarik selimut, gumamnya, "mungkin perang dunia ke-3 bisa saja meletus."
Dan ia sudah tidak kecewa.

Minggu, 30 Januari 2011

Zona Kampus 2011

Zona Kampus selain diadakan untuk membantu adik-adik dalam menentukan pilihan mereka di perguruan tinggi juga sekaligus menjadi ajang reuni akbar tidak langsung bagi kami, Emperor SMAN 81 Jakarta. 

Zona Kampus, bagi kami, Emperor, adalah lepas rindu.


Lc, minus Anyndya Chandra Dewi yang masih UAS di Semarang.


westcoast, XII.IPA.4, seperti yang pernah saya bilang, teman-teman yang membuat saya tidak berhenti tertawa dari jam tujuh pagi hingga setengah empat sore.


dan..EMPEROR

bagian besar dari masa labil, menyampah, bermain, belajar, menangis, tertekan, kerja sama saat ulangan, bergosip. SMA.

Emperor, jadi sekarang kita mahasiswa ya?

Selasa, 25 Januari 2011

Pantai

Sambil minum robusta, pantai tetap saja pantai

punya garis terlalu panjang,

pohon tinggi tapi tidak bikin rindang.

Kaya Raya Berada

Negeri ini bukan cuma satu-dua pulau, bukan cuma satu-dua galon air laut

Negeri ini terlalu kaya dan murah hati

seperti kemarin saja, negara tetangga baru saja kita beri hadiah gunung. Isinya emas.

Di sini pengadilan juga mirip restoran

tapi jangan pesan keadilan

karena persediaan terbatas, selalu habis sebelum jam makan siang.

Kita Belum Sarapan

Aku sudah bilang, Dara

kalau suka tidak perlu tunjuk dada

Biar Bara tidak bisa lihat. Apalagi injak.

Lagipula, hari masih pagi, Dara, kita belum lagi sempat sarapan.

Aku sudah bilang, Dara

cinta untuk Bara jangan terlalu membara.

-Amara pada Dara

Kamu rela jadi setan?

Apakah kamu rela jadi setan,

kalau Tuhan memberimu bidadari paling cantik di surga?

Apakah kamu rela jadi setan,

kalau dosaku terlalu banyak hingga harus masuk neraka?

-Dara pada Bara

Terima Kasih

Kamu orang Indonesia? Apa kamu cinta bahasa-nya?

Seberapa luwes kita bilang thank you, tapi kepunyaan kita adalah terima kasih. Terima kasih.