Minggu, 27 Desember 2009

Mari Definisikan Ulang Tujuan Pendidikan

Adalah suatu fakta, bahwa fungsi sekolah sebagai tempat seorang anak mengenal berbagai macam karakter, belajar membaca i-ni i-bu bu-di telah bergeser.

Sebagai siswa kelas dua belas sma yang dituntut banyak hal, saya menyadari bahwa, saya pergi ke sekolah bukan untuk menjadi pintar, tapi untuk mengejar tujuan saya masuk perguruan tinggi negeri. Tahun terakhir saya di sma kemarin, saya akui memang bukan tahun terbaik, tapi malah tahun paling tidak produktif sepanjang hidup saya.

Pendidikan Indonesia, yang kalau mau diibaratkan sebagai kutub senama, segalanya saling tolak-menolak dari berbagai sisi. Pemerintah dengan segala kuasa dan wewenangnya telah mengubah wajah pendidikan menjadi sesuatu yang punya nilai mati, menjebak dan bisa disamaratakan. Murid, pergi ke sekolah dengan perasaan datar tanpa motivasi, gagal meraba tujuan mereka mengetahui –pH-asam-lebih-kecil-dari-tujuh untuk apa. Guru, sebagian tidak menjalankan peran mereka sebagai pendidik tapi hanya sebagai pengajar. Sekolah, yang tiba-tiba menjadi gila sertifikasi, mulai dari ISO, SBI dan segala macam status prestise omong kosong lainnya. Politikus, semakin getol saja menjadikan pendidikan sebagai alat politik. Bimbel yang semakin sadar bahwa mereka dibutuhkan langsung pasang ancang-ancang untuk meraup profit sebanyak mungkin dengan meningkatkan dependensi anak-anak akan rumus cepat, meracuni fikiran pelajar bahwa jalan pintas selalu bisa dijadikan solusi. Akibatnya fenomena seorang anak mengenal huruf a sampai z di sekolah telah bergeser. Semua telah berganti dengan semangat kejar setoran.

Sekolah Bertaraf Internasional

Selamat menempuh hidup baru untuk sekolah saya dengan status barunya. Jujur saja saya masih bingung dengan ‘taraf Internasional’ di sini itu apa. Karena dengan status itupun, saya masih belajar dalam bahasa Indonesia, hanya sesekali ujian dalam bahasa ‘bilingual’ yang jujur saja agak maksa. English day pun tidak efektif. Tapi saya lebih bingung pada tujuan dari itu semua. Untuk apa kita belajar dalam bahasa lain atau bahasa campur-campur kalau transfer ilmu dari guru ke murid tidak berhasil? Memang, untuk lebih berkembang kita harus lebih terbuka akan hal-hal baru dan punya acuan dari banyak sumber. Tapi tidakkah kita bangga menjadi orang Indonesia sampai harus maksa ulangan agama pakai bahasa orang? Ya sudahlah, status Sekolah Bertaraf Internasional cukup keren juga kok.

Ujian Akhir Nasional hampir membutakan hati pelajar Indonesia.

Adanya UN tanpa sadar telah membentuk stigma pelajar menjadi UN oriented. Belajar hanya untuk UN karena standar lulus adalah UN. Kelas dua SMA itu bagai cuti panjang untuk kami karena kami tidak punya ‘tuntutan apa-apa’. Itulah yang membuat UN menjadi ide buruk. UN menempa mental kami menjadi mental hasil akhir, belajar karena tuntutan, bukan karena kesadaran bahwa setiap manusia punya kebutuhan belajar untuk mengembangkan diri. Hasilnya, sekolah hanyalah di tahun terakhir, kelas dua SMA tinggal bersantai. Apalagi di sekolah saya urusan nilai bukanlah perkara sulit. Standar kelulusan minimal yang cukup menjulang (nilai minimal kami untuk tidak remedial adalah80) telah membantu menyamarkan ‘keadaan otak’ kami yang sebenarnya. Saat ujian tampaknya sih pengawasan begitu ketat, soal susah, dengan dua pengawas untuk tiap ruangan, wow kesannya sih udah paling oke. Jangan kaget kalau nilai asli kami banyak yang dibawah 60. Tapi untuk remedial, jangan ditanya, saya pernah remedial di lapangan takraw saking gak ada kelas yang muat, iyalah, orang yang remed satu angkatan! Bisa dinilai sendiri tingkat kondusifitas remedial seangkatan di lapangan takraw kayak apa. Dan hari pembagian rapor menjadi hari bahagia untuk semua. Para orang tua tersenyum bangga melihat angka-angka indah di rapor anak mereka tanpa mengetahui seperti apa sebenarnya cara anak-anak mereka mendapat nilai gemilang itu. Sudahlah, mari kita tutup hari-hari suram kelas dua SMA, singkat cerita setelah kami dinyatakan naik kelas, kami baru pontang-panting belajar untuk UN dan tes masuk PTN.

Issue mengenai adanya remedial untuk UN membuat saya ingin tertawa. Menurut saya kebijakan pemerintah yang satu ini mematahkan kebijakan UN sebagai standard kelulusan satu-satunya. Solusi adanya remedial bukanlah solusi bijak yang menyelesaikan masalah untuk menanggapi tuntutan kami pelajar. Karena jujur saja remedial yang berlaku pada ulangan harian saja telah mendidik kami para pelajar menjadi bermental ‘solusi jalan tengah’. Tidak perlulah remedial UN, remedial ulangan harian saja membuat kami punya excuse kalau tidak belajar, “ya udahlah remed kan gampang paling satu-dua soal, abis itu nilai langsung 80.” 

Saya setuju kalau UN tetap diadakan, karena tanpa tuntutan itupun pada dasarnya tugas kami memang belajar, karena itulah kami disebut pelajar. Tetapi keberadaan UN bukan untuk standar kelulusan siswa, menurut saya lebih relevan jika pelaksanaan UN digunakan sebagai standardisasi guru sekaligus pemetaan sekolah. Sehingga hasil akhir dari pelaksanaan UN merupakan sebuah data pemetaan kualitas sekolah sehingga pemerintah punya gambaran mengenai kualitas sekolah yang sudah baik maupun sekolah yang ‘perlu dibantu’.
Jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri dan BOP yang mencekik leher

Beberapa tahun belakangan ini, ketika pemerintah perlahan-lahan memberikan wewenang otonomi kampus kepada PTN, menyebabkan perguruan tinggi negeri harus mencari pemasukan lebih giat. Hasilnya berbaagai ujian mandiri dengan kuota tidak tanggung-tanggung Banyak berlangsung belakangan ini. Dan sebagaimana ujian mandiri-ujian madiri pada umumnya, uang pangkal tentu lebih besar dan sangat ‘timpang’ jika dibandingkan dengan uang pangkal jalur masuk via SPMB dengan kuota lebih sedikit. Hal ini semakin menjadikan pendidikan adalah barang mewah yang tak terjangkau. 

Demikian juga dengan halnya ketimpangan passing grade pada universitas di daerah dengan di pusat. Menunjukkan dengan jelas pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia belum tercapai.

Keadaan signifikan akan Indonesia dan Jepang saat ini, dimana Jepang sudah menjadi negara industri maju sementara Indonesia masih berkutat dengan masalah kelaparan, padahal hari kemerdekaan kita hanya berselang 3 hari dari hari kehancuran Jepang. Mungkin kita pernah mendengar cerita bahwa hal yang pertama kali ditanyakan oleh kaisar Jepang setelah kekalahan negaranya adalah, “masih ada berapa guru yang tersisa?” Menunjukkan begitu concern-nya bangsa ini akan masalah pendidikan. Sementara di negara kita, pendidikan menjadi sangat rumit secara teknis.

Mari kita bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bersekolah.

Selama hampir dua belas tahun hidup sebagai murid, pernahkah kita memikirkan tentang hal apa saja yang saya dapatkan dari sekolah? Mungkin saat ini kita belajar keras untuk mempersiapkan diri menghadapi serangkaian ujian masuk PTN/PTS, UN, UAS dan lain sebagainya. Semua tujuan itu mulia dan baik apalagi disertai embel-embel untuk membahagiakan kedua orang tua. Tapi apa yang sebenarnya kita dapatkan selama dua belas tahun ini? Cara memasukkan angka ke dalam rumus? Selembar ijazah dengan nilai palsu yang sebenarnya kurang merefleksikan isi otak? 

Karena itulah, saya merasa perlu mendefinisikan ulang tujuan pendidikan, bagi murid, tujuan pergi ke sekolah. Begitu sederhana bukan? Saya takut hanya membuang-buang waktu kalau ternyata tidak ada yang saya dapatkan setelah bertahun-tahun saya sekolah. Bukankah tujuan pendidikan yang tersirat adalah mencerdaskan kehidupan bangsa? Maka sudah seharusnya setelah kita ke sekolah seharian kita menjadi cerdas. Dari tidak bisa menjadi bisa, dari otak kosong menjadi berisi. Bukan sekedar dari tidak punya nilai jadi punya nilai. 

Memang suatu pilihan bagi murid, untuk menjadikan hari-harinya di sekolah seperti apa. Apakah untuk sekedar mendapat rapor dan ijazah atau mendapat hal-hal baru yang memuaskan kebutuhan berfikirnya. Tapi bukankah sangat sayang kalau setelah cape seharian di sekolah yang kita dapatkan hanya sepaket nilai, sementara keberadaan ilmu itu sendiri malah diabaikan. Bukankah kalau kita benar-benar belajar dengan niat tulus diri kita akan diperkaya dengan hal baru sekaligus menguak kebesaran Tuhan lewat ilmu-ilmu yang kita pelajari? Maka itu, tujuan lulus UN dan dapat PTN bergengsi dengan passing grade selangit bisa dibilang hanyalah tujuan dangkal pergi ke sekolah.

Menurut saya lulus UN dengan nilai gemilang, dapat PTN bagus adalah target dan bukan tujuan. Sayang, disaat seharusnya target dan tujuan berjalan seiring, hal ini tidak terjadi di sini. Banyaknya tuntutan telah menggeser tujuan awal pendidikan. Tujuan pendidikan menurut saya adalah mewujudkan bangsa mandiri dan berbudaya. Tapi mari kita lihat banyaknya angka pengangguran, bukan berarti mereka tidak sekolah, banyak diantara mereka yang lulus strata satu alias sarjana. Tapi kenapa masih jadi pengangguran? Salah satu kegagalan pendidikan. Pendidikan kita sayangnya hanya mengajarkan teori tapi tidak cara mandiri dalam menyelesaikan masalah. Bangsa kita sudah terbiasa dengan mental konsumtif bukan produktif. Pendidikan kita, tidak memerdekakan anak-anaknya dari perasaan terjajah.

Jadi wajar saja kalau orang Indonesia banyak yang amoral.

Kalau sudah begini salah siapa?

Menurut saya kesalahan terletak pada tidak adanya keseimbangan antara satu dan lain pelaku pendidikan. Pemerintah menuntut murid dan guru dengan standar UN-nya. Murid menuntut pemerintah untuk merombak sistem pendidikan. Untuk mencapai tujuan dari pendidikan diperlukan kerja sama dari seluruh pelaku pendidikan. Semuanya harus bergerak, saling menuntut tidak akan membuat kemajuan. Jadi sebagai murid, mari kita belajar yang benar atas kesadaran sendiri, atas pemenuhan kebutuhan masing-masing. Kuak sendiri ilmu-ilmu itu sebanyak mungkin. Jangan menuntut apa-apa kalau kita belum melaksanakan kewajiban sesuai kapasitas kita sebagai murid.

Bisa dibilang penyesalan terbesar saya sepanjang hidup adalah penyesalan saya akan tahun kemarin yang sia-sia (saya menyebutnya sebagai fase menyampah di sma), seharusnya saya habiskan rasa ingin tahu saya, kehausan saya akan ilmu karena tahun kemarin adalah tahun tanpa tuntutan ini-itu. Tapi pada kenyataannya saya lebih banyak main-main di sekolah, belajar sekedarnya saja kalau mau ulangan. Padahal seharusnya banyak hal yang saya dapat, cakrawala berfikir saya mestinya sudah sangat luas setelah dua belas tahun bergumul dalam dunia penddidikan sebagai murid. Tapi memang tidak ada gunanya menyesal, dan saya berharap agar ilmu yang susah-susah saya dapat ini tidak sia-sia dan menjadi ilmu sekali pakai, seetelah ujian silakan buang.

Mari definisikan ulang tujuan kita berangkat sekolah tiap pagi. Benarkah tujuan kita hanya untuk selembar ijazah? Kenapa kita tidak mulai berniat pergi ke sekolah untuk membentuk karakter dan menjadi manusia mandiri? Bukankah nilai bisa dibuat atau dimanipulasi, tapi isi otak? Ya ampun, sesungguhnya kan ada banyak hal yang bisa kita gali dari sebuah institusi bernama sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar