Kamis, 17 Mei 2012

Dodotan

Dari dulu saya mauu banget, nanti kalo nikah pake baju dodotan solo, kira-kira baju dodotan itu seperti foto diatas. Tapi berbuhung saya sudah pake kerudung, jadi sepertinya saya ga bisa pake baju dodotan ini.


 Selama ini, saya dan teman-teman perempuan saya cukup sering membahas soal pernikahan. Baik dalam konteks bercanda (yang tidak benar-benar akan kami lakukan) semisal “Ah gue capek kuliah, gue mau nikah aja!” maupun serius (yang mungkin saja akan kami lakukan) seperti , “Nikahan gue nanti lo semua pake seragam ya!”. Dan rata-rata teman-teman saya bilang kalau mereka mau menikah kira-kira lima tahun lagi. Lima tahun. Lima tahun itu singkat loh, dan saya masih canggung membayangkan bagaimana rasanya nanti, ketika salah satu dari kami sudah ada yang menikah lalu ketika kita mau pergi dia bukannya minta izin sama orang tuanya tapi sama suaminya. Kaya apa rasanya....

 Saya tidak tahu, apa ini cuma di fakultas saya yang anak-anaknya “kebelet” nikah, karena bahkan anak-anak cowok sering nyepet bahas pernikahan. Kami sering membahas tentang pernikahan. Mulai dari mas kawin maunya apa, pakai adat apa, siapa yang rancang kebaya sampai tipe menantu idaman bagi orang tua orang tua kami. Novi mau seperangkat M.A.C. make up untuk mas kawin walaupun sebagian besar cewe-cewe fkg mengidamkan seperangkat dental unit untuk mas kawin. Mila mau kebaya nikahannya didesain sama Anne Avantie. Resti mau pengisi acara untuk resepsinya full band bukan cuma organ tunggal. Kami penasaran bagaimana ramenya nikahan Fitri yang kemungkinan akan memakai adat betawi nanti, hebohnya nikahan Vio yang hampir pasti pakai adat batak nanti. Dan saya sendiri, karena papa saya orang Palembang, saya mau banget nari Pagar Pengantin.

 Yah, selama ini yang kami bicarakan memang hal-hal superfisial mengenai pernikahan. Kebaya dan gaun, adat dan perayaan. Tapi kenyataannya pernikahan itu for a life time. Tidak hanya sehari dua hari selebrasi.

Semakin saya besar, semakin saya menyadari bahwa semakin tua manusia itu semakin jauh dari impulsif, semakin under control, semakin memikirkan perasaan orang banyak, semakin berfikir “kalau saya begini orang lain bagaimana ya?”. Seperti misalnya ketika masa-masa SMP SMA dulu, buat saya pacaran itu untuk senang-senang, kalau pacarmu ga bikin kamu senang, ya putus saja, kalau kamu bosan sama pacarmu, ya putus saja. Tapi belakangan saya berfikir sampai kapan saya mau berfikir secuek dan setidak peduli itu.

Semakin besar, saya juga makin merasa perjalanan hidup kita tidak cuma panjang tapi juga berliku. Lulus kuliah, berkerja lalu menikah pun jadi tidak sesederhana kelihatannya. Dan sepertinya saya belum sesiap itu untuk berani menentukan sekian tahun lagi saya akan menikah. Selama ini yang saya dan teman-teman saya fikirkan tentang pernikahan mungkin cuma soal bagaimana pesta pernikahan harus menyenangkan, bagaimana acara seremonialnya berjalan khidmat dan semua orang memberi ucapan selamat. Tapi setelah itu, setelah jam sewa gedung habis, tamu-tamu pulang, petugas catering mulai beres-beres, lampu dan hiasan diturunkan, yang tersisa adalah kita.


Kita. Aku dan kamu. Berbagi segala hal. Mulai hal-hal fisik seperti tempat tidur, lemari pakaian, rak sepatu. Sampai berbagi tahu hal-hal seperti jumlah penghasilan, rahasia dan aib. Kita mungkin pernah diberi kepercayaan oleh seorang teman untuk menjaga rahasianya. Tapi sepertinya rasanya berbeda ketika itu adalah rahasia atau aib kamu karena seharusnya rasanya seperti menjaga rahasia milik diri sendiri. Kita. Aku dan kamu, bukan lagi aku bersama kamu, tapi aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Kita, dalam konteks pernikahan adalah aku dan kamu yang manunggal.

People do changes 
Naif rasanya kalau meminta seseorang agar tidak berubah. Semua orang pasti berubah karena interaksi sosial itu dinamis. Lalu siapa yang akan menjamin seseorang yang kita nikahi hari ini masih orang yang sama pada sepuluh atau dua puluh tahun lagi? Siapa yang tahu akan jadi seperti apa sosok idaman yang hari ini kita banggakan di depan orang tua dan teman-teman kita beberapa tahun kemudian? Mungkin si sopan dan lembut sudah berubah menjadi si kasar dan suka main tangan. Mungkin si sabar sudah berubah menjadi pemarah. Mungkin si romantis sudah berubah menjadi si datar. Jangankan interaksi sosial, hormon manusia saja fluktuaktif.

 Kebosanan
 Menikah adalah merelakan hari-hari dalam sisa hidup kita diisi oleh orang yang kita nikahi. Bedanya dengan pacaran, kita tidak bisa pergi begitu saja atau mengajukan alasan semacam “aku lagi mau sama teman-teman aku” kalau sewaktu-waktu kita bosan. Kalau masih pacaran dan sedang bosan kita bisa menghilang seharian lalu beralasan, “maaf, aku tadi keasikan main game online sama teman-teman” pacarmu mungkin masih bisa terima, tapi kalau sudah menikah dan kamu mengajukan alasan seperti itu, dijamin istrimu akan mengamuk. 

Memang, semakin difikirkan rasanya semakin masih jauh dan belum siap untuk memakai dodotan atau menari pagar pengantin. Tapi saya rasa, ini adalah soal menemukan orang yang tepat. Seseorang yang entah kenapa masih bisa kita terima dan sayangi meskipun nantinya melakukan banyak kesalahan yang entah besar atau kecil. Seseorang yang eksistensinya bukan hanya untuk status sosial atau apapun, tapi yang kita inginkan ada hanya karena memang kita ingin dia ada. Seseorang yang membuat kita merasa senang untuk alasan-alasan sederhana atau bahkan tanpa alasan. Seseorang yang diam-diam kita doakan untuk dipertemukan kembali oleh Tuhan di surga.

Minggu, 04 Maret 2012

It Heals

World rounds.
Time goes.
People change.
Relationship fluctuate.
Memories fly. Half stay.

I grow. And understand..


..then take it easy.