Rabu, 09 Februari 2011

Pecah Perang

Nina kecil merasa senang saat mendapat oleh-oleh sebuah kalung dengan bandul bergambar kincir angin dan bunga tulip dari bude-nya.
"Papa, bude habis dari Belanda ya?" tanyanya pada papa saat bude pergi ke dapur untuk mengambil minum.
"Iya."
Mata Nina mendelik tidak suka, "Ngapain bude ke sana? Belanda kan pernah menjajah kita?!" katanya sok tua.
"Iya, tapi kita kan sekarang sudah damai. Sudah berteman lagi."
Nina diam dan manggut-manggut. Dia pernah berfikir mungkin budenya pergi ke Belanda untuk memukuli orang-orang Belanda yang pernah menjajah Indonesia karena ia-pun merencanakan hal itu kala-kalau suatu hari dia pergi ke Belanda.
Nina benci penjajah. Karena kata ibu guru di TK, penjajah membuat rakyat Indonesia menderita. Tapi memangnya anak kecil tahu apa soal menderita? Baginya menderita ya menderita. Menderita itu tidak enak.
Tapi ayahnya bilang, kita sudah berdamai, jadi Nina tidak membenci Belanda lagi.
Nina memercayai ayahnya. Baginya papa selalu benar karena papa pintar. Bahkan Nina percaya kalau papanya akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan pembawa acara dan membawa uang satu milyar kalau-kalau papa ikut kuis di televisi yang terkenal itu .
*
"Jadi perang dunia itu sampai dua kali??" Nina kecil sampai berhenti memuntir rambutnya-kebiasaannya kalau sedang tiduran- saat neneknya bercerita tentang perang zaman dulu. Ngeri juga dirinya membayangkan seluruh dunia ini bertengkar.
"Iya..." nenek Nina memang selalu mendongeng sebelum mereka tidur ketika mereka saling menginap.
"Jadi nanti ada perang dunia ke-3 dong?" tanya Nina penuh rasa ingin tahu.
"Haha..." nenek Nina tertawa kecil, "Tidak mungkin, karena kita kan sudah berdamai." Perasaan kuatirnya sedikit terobati.
Nina manggut-manggut. "Kayak apa rasanya tinggal di zaman perang nek?"
"Hmm," gumam nenek. "Dulu nenek tinggal berpindah-pindah bersama mama dan papa nenek." Nina manggut-manggut lagi. "Sudah sekarang Nina tidur, nenek juga sudah capek bercerita."
Tapi Nina kecil tidak bisa tidur, bahkan sampai neneknya tertidur pulas.
"Nek..." gumam Nina pelan, "Nenek."
"hmm..?" bahkan neneknya tidak membukakan mata.
"Bener kan perang dunia ke-3 gak akan ada?"
"Iya..."
Baru Nina bisa tidur.
*
Anak-anak tumbuh dengan memercayai. Namun kepercayaan itu bisa cepat berganti kekecewaan ketika mereka mulai melihat sendiri. Melihat-beropini atau melihat-tidak mengerti lalu bertanya atau bisa juga melihat lalu mendebat.
Kekecewaan pertama Nina adalah ketika ia diberi tahu kalau matahari tidak muncul di sela gunung dengan satu sungging senyum.
Dan ketika ia menyadari bahwa mungkin saja papa tidak bisa memenangkan kuis dan membawa pulang uang satu milyar, ia sudah tidak seberapa kecewa.

Nina menggenggam remot mengganti-ganti saluran tv-kebiasannya kalau sedang tiduran setelah mulai puber-. Nenek sudah jarang menginap, sudah jarang mendongeng. Nina pun sudah jarang menginap di rumah neneknya. Dia sekarang lebih suka menonton tv kalau akan tidur. Saluran tv-nya daritadi menayangkan berita soal kerusuhan di banyak negara. Kota porak-poranda. Wartawan-wartawan terjebak. Orang-orang terluka. Tempat-tempat jadi rebutan.
Benda mati hancur. Benda hidup menderita.
Mungkin dendam itu laten,
mungkin rakus itu mendarah daging,
mungkin kita memang binatang.
Nina mematikan tv dan menarik selimut, gumamnya, "mungkin perang dunia ke-3 bisa saja meletus."
Dan ia sudah tidak kecewa.