Sabtu, 26 Juni 2010

"Saya Merdeka dan Tidak Dijajah oleh Cinta Buta"

Pagi ini hujan, jas hujan dan payung warna-warni orang yang melintas menghiasi trotoar. Dua teman lama, bertemu lagi di kedai kopi. Dengan secangkir kopi dan sepiring wafel madu di hadapan mereka.
“Jadi,” Hamidah berkata setelah menyesap kopinya. “Kenapa?”
Yulia yang memang mengajak Hamidah untuk berjumpa lagi tersenyum kecil, “ini sesuatu yang susah dideskripsikan.”
“Kakek saya ilmuwan, ayah saya dokter, saya mencintai ilmu pasti. Makanya saya merasa segalanya bisa dijelaskan. Segala hal punya definisi.”
“Tapi ada beberapa hal yang lebih baik tidak kita ketahui definisinya, mungkin akan jadi terasa lebih sensasional ketika kita tidak tahu.”
Hamidah tersenyum kecil. “Silakan saja kalau ingin berbagi.”
Tentu saja Yulia tahu bagaimana insting Hamidah. “Patetis, saya merasa hilang kendali untuk hal ini. Saya merasa setir saya ada pada dia. Mungkin ini dependensi berlebihan yang saya tahu berbahaya, masalahnya saya tidak tahu bagaimana mengatasinya. Saya panik saat menyadari bahwa apapun perasaan ini jadi lebih complicated. Apalagi ketika menyadari bahwa ada beberapa poin dari dia yang perlahan berubah.” Dia terdiam lalu melanjutkan “Walaupun terlalu naif kalau kita menjajikan pribadi yang tidak akan berubah. Kita semua berkembang, kita berubah karena interaksi. Interaksi sosial yang berjalan otomatis. Yah, memang ada hal-hal alami yang tidak bisa kita ubah.”
“Dunia ini kan memang bukan plastisin, Yulia.”
“Saya ingin tahu Hamidah, apa menurut anda cinta punya makna ambigu? Atau justru indefinit?”
“Menurut saya, cinta itu universal, dan tidak sedangkal satu tangkai mawar, cinta itu rela menghisap ingus bayinya dengan mulut, cinta itu berani melawan senapan dengan bambu runcing, dan saya kurang yakin cinta butuh krim anti-aging.”
“Cinta bisa menjadi polydefinit, ingat, cinta juga bisa berarti kecocokan feromon. Tidak selamanya cinta itu indefinit. Saya penasaran, apa anda masih menyayanginya?”
“Iya. Yang definit itu kebersamaan, kebersamaan butuh alasan, tentu saja saya menyayanginya, tapi itu bukan alasan untuk sebuah kebersamaan.”
“Lalu?”
“Zona nyaman. Dan juga mungkin adiksi. Tahu kan, satu perasaan kehilangan kalau sedang tidak bersama-sama. Maka, ketika saya mulai bertanya-tanya kenapa fluktuasi hormon saya terasa selalu tinggi kalau bersamanya dan satu hari tanpa kebersamaan terasa seperti istirahat saya pikir saya tidak punya alasan lagi untuk sebuah kebersamaan.”
“Dan anda merealisasikan pikiran itu,” ujar Yulia.
“Mumpung kami belum punya anak dan harta kami belum banyak,” Hamidah menjawabnya dengan canda.
“Tapi kan kalian memang belum menikah,” Yulia tidak menganggapnya sebagai kelakar. “Saya selalu tahu bahwa mendefinisikan sesuatu bisa men-simplified segalanya. Mendefinisikan bisa berarti ‘membuat batasan’. Tahu kan kata-kata ‘kalau kau sedang bingung kembalilah ke definisi awal’, tapi saya ragu apakah ini memang hanya sekedar soal definisi mendefinisikan.”
“Ini soal apa yang didefinisikan, dalam hal ini tujuan atau bisa kita sebut, harapan, memangnya anda berharap ini semua akan berakhir pada apa? Pernikahan? Entahlah, tapi umur kita belum mencapai seperlima abad dan belum ada embel-embel gelar tanda lulus strata I pada nama kita.”
“Kita masih muda, labil dan punya banyak mimpi. Lalu? Lalu apa yang saya cari? Saya mengatakan bahwa dia masih zona nyaman saya disaat yang sama ketika apapun yang dia lakukan terasa menyebalkan. Dan saya tidak mengambil langkah seribu.”
“Tidak masalah kalau anda punya toleransi tinggi terhadap cita rasa, itu pilihan. Tapi punya konsekuensi. Apakah dengan kata lain anda mengatakan bahwa sebenarnya anda tersiksa?”
“Tidak, tentu saja tidak,” Yulia berkata dengan nada kelugasan yang perlahan turun sampai akhir kalimatnya.
“Sebenarnya anda sudah tahu apa yang harus anda lakukan. Saya percaya segala hal punya cara untuk dinikmati.”
“Apakah di saat seperti ini seharusnya saya jujur pada diri sendiri?”
“Tentu saja kapanpun kita harus jujur.”
“Sebenarnya saya hanya mengharapkan kebersamaan.”
“Kalau saya,” sergah Hamidah. “Tidak bisa menikmati kopi dengan gelas plastik.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar